******
Setiap hari aku pulang dan pergi pergi
melewati jalanan rusak berbatu dengan banyak pohon rindang di
pinggirannya. Di deretan jalan tersebut ada sebuah rumah kecil mungil
dengan jendela bundar dan cerobong asap, persis seperti rumah dalam
sebuah cerita dongeng. Itu rumah kamu.
Tahukah kamu… setiap hari aku berjalan
lewati rumahmu. Begitu seringnya, aku sampai ingat persis warna coklat
kusam pintu rumahmu dan dindingnya yang keabuan. Kulakukan itu tanpa
sengaja dan tanpa rencana. Mau tidak mau, toh aku memang harus lewat
jalanan rusak di depan rumahmu itu.
Setiap hari pula tidak bisa kuhindari
melihat dirimu dibalik jendela. Beberapa kali kulihat kamu sedang sibuk
menulis sesuatu atau membaca buku. Terkadang aku melihatmu membersihkan
rumah sambil memutar lagu keras-keras. Tapi, aku paling sering melihatmu
sedang duduk termenung dalam sepi seorang diri.
Tahukah kamu… setiap kali aku
melihatmu, hatiku bertanya, “Siapa dia?” Ingin rasanya aku mengenalmu
dan rasa itu sangat mengganggu sekali.
Dan akhirnya, malam itu kuberanikan
diriku untuk singgah dan mengetuk pintu rumahmu. Jantungku berdegup
kencang sewaktu kamu membuka pintu. Wajahmu yang manis mengintip dari
balik celah pintu yang terkait oleh grendel kunci rantai.
“Siapa yah?”, kamu bertanya. Pertama
kalinya aku mendengar suaramu. Dan jujur, suaramu yang sedikit parau
bersirat sendu sama sekali tidak seperti yang kuduga. Tapi matamu…
Matamu yang berkilau seperti danau di malam hari memantulkan cahaya
bintang di kejauhan, itu persis seperti yang selama ini ada dalam
bayanganku tentang dirimu.
Kuperkenalkan diriku dan kita
berbincang cukup lama. Kita hanya berbicara lewat celah pintu yang
sedikit terbuka, terkait oleh grendel kunci rantai. Kamu tidak
mempersilakan aku masuk. Tidak apa-apa, aku maklum… kan aku masih orang
asing dan kita baru bertemu pertama kali. Sudah bisa berbicara denganmu
saja aku sudah senang sekali.
Tahukah kamu… ketika aku pamit malam
itu, aku berjanji dalam hati untuk singgah lagi esok malamnya dan esok
malamnya lagi, dan malam setelahnya, dan setelahnya lagi, dan
seterusnya…
Dan memang itu yang kulakukan.
Malam demi malam aku selalu singgah dan
mengetuk pintu rumahmu. Kamu pun selalu menyambut aku dengan senyum
manis, dan kebahagiaan terpancar berkilau dari sinar temaram matamu…
tapi kamu tidak pernah mempersilakan aku masuk.
Aku duduk di undakan tangga di luar
rumah dan bersender pada pintu, kamupun duduk di lantai kayu dalam
rumahmu dan bersender di sisi sebaliknya. Aku sungguh menikmati setiap
kata yang keluar dari bibirku dan bibirmu, dan aku tahu kamu juga
begitu.
Meskipun kita hanya berbicara lewat celah pintu yang sedikit terbuka, terkait oleh grendel kunci rantai.
Tapi tidak apa-apa, itu saja sudah cukup. Aku hanya ingin mengenalmu.
Setiap malam, kita saling bertukar
tawa. Mentertawakan dunia dan diri kita masing-masing. Kamu bilang kamu
jarang tertawa lepas seperti itu, dan tahukah kamu… tawamu timbulkan
rasa hangat yang meresap dalam diriku. Rasa hangat yang sudah lama tidak
kurasakan.
Dan kita saling bertukar cerita.
Tentang mimpi-mimpimu, tentang kehidupan, tentang dunia, tentang cinta,
dan tentang dirimu. Saling bertukar kisah hingga pagi menjelang dan
matahari mengintip di balik cakrawala, perlahan buyarkan hitamnya malam
dan menggantinya dengan fajar yang ungu kebiruan.
“Selamat tidur yah..”, katamu ketika
aku pamit. Aku pulang dan tidur dengan tersenyum. Hari ini aku sudah
mengenal dirimu lebih dari kemarin. Dan aku tahu kamu juga tidur dengan
tersenyum pagi itu.
Malam esoknya, akhirnya, kamu
memutuskan untuk bercerita tentang kesendirianmu, tentang malam-malam
sepimu, tentang hilangnya asa dari dirimu… tentang alasan kamu mengurung
diri dalam rumah, dan mengapa kamu tidak mau membukakan pintu untuk
siapapun.
Aku senang kamu mempercayaiku. Meskipun
kita hanya berbicara lewat celah pintu yang sedikit terbuka, terkait
oleh grendel kunci rantai.
Kamu bercerita tentang masa lalumu dan
ketakutanmu. Terakhir kali kamu membuka pintu dan mengijinkan seseorang
masuk dalam rumahmu, ia menghancurkan seisi rumahmu, merampas segala
yang berharga dari dirimu, dan setelah itu meninggalkanmu tersungkur
menangis di lantai rumahmu yang telah porak poranda.
Dengan segala jerih payah dan air mata,
selama enam musim, akhirnya kamu berhasil membenahi rumahmu, menyusun
ulang perabotan, dan membuatnya terlihat lebih indah dari sebelumnya.
Tapi kamu tahu, berkas-berkas kerusakan tidak akan pernah bisa hilang,
dan rumah kamu selamanya tidak akan pernah kembali seperti semula.
Sejak saat itu kamu bertekad tidak akan
pernah lagi membukakan pintu untuk siapapun, meskipun kamu selalu
berharap dalam hati, suatu hari akan ada seseorang yang dapat
meyakinkanmu untuk membuka pintu dan mempersilakan ia masuk. Menemani
kamu hingga putih rambutmu dan kulitmu keriput.
Hatiku pilu mendengarnya…
Tahukah kamu… mengapa aku ingin mengenalmu?
Aku ingin tahu apa yang membuatmu
resah, apa yang membuatmu gundah, apa yang membuatmu sedih… agar aku
jangan sampai membuatmu menangis.
Aku ingin tahu apa yang membuatmu
tersenyum, apa yang membuatmu tertawa, apa yang membuat matamu berbinar…
agar aku bisa membuatmu bahagia.
Aku ingin menjadi orang yang kamu
bukakan pintu dan persilakan masuk dalam rumahmu. Menemanimu setiap
hari, setiap malam, bertukar cerita dan tertawa bahagia. Bukan hanya
berbicara lewat celah pintu yang sedikit terbuka, terkait oleh grendel
kunci rantai.
Kenapa aku bisa merasakan semua yang
aku rasakan? Jujur, aku tidak tahu. Konon, katanya cinta tidak butuh
alasan, dan kita tidak akan pernah tahu kapan dan dengan siapa kita akan
jatuh cinta. Tapi kurasa, aku begini karena aku merasa bahagia setiap
kali aku singgah ke rumahmu.
“Bukakan aku pintunya dan biarkan aku
masuk menemani kamu..”, aku ingat tiba-tiba kalimat itu keluar dari
mulutku. Aku tahu kamu terkejut, karena aku bisa lihat air mukamu lewat
celah pintu yang sedikit terbuka, terkait oleh grendel kunci rantai.
Kamu terdiam membisu. Matamu berkata
bahwa kamu ingin membukakan pintu untukku, tapi raut wajahmu berkata
lain. Aku tahu kamu ragu. Aku tahu kamu takut. Segala hal buruk yang
mungkin terjadi terlintas cepat dalam pikiranmu.
“Jangan takut… aku tidak akan menyakiti
kamu. Biarkan aku membawamu keluar rumah dan melihat indahnya dunia.
Biarkan aku menemani kamu…”, aku berusaha meyakinkan kamu.
“Tapi aku belum mengenal kamu…”, katamu lirih.
Aku tahu kamu merasa belum mengenalku,
bukan karena aku tidak pernah bercerita tentang diriku sendiri, tapi
karena kamu menolak untuk mempercayai semua yang kuceritakan padamu dan
memilih untuk mempercayai masa lalumu.
“Aku bisa membuat kamu bahagia… aku
tahu kamu tahu itu.”, aku mencoba membuat kamu mengakui perasaan dalam
diri kamu, perasaan yang sama yang juga aku rasakan.
“Aku bahagia setiap malam kamu singgah
ke sini, aku senang bisa bertukar cerita dengan kamu… tapi aku perlu
bukti bahwa kamu tidak akan menghancurkan rumahku kalau kamu masuk ke
dalam!”, kamu akhirnya mengutarakan isi hati kamu.
“Bagaimana aku bisa membuktikan hal itu kalau aku tidak pernah masuk dalam rumah kamu?“, ujarku setengah tak sabar.
“Setiap malam kita bertukar cerita dan
tertawa bersama… bukankah itu bukti bahwa aku dan kamu bisa saling
membahagiakan satu sama lain? Tidak mungkin aku akan merusak hal yang
bisa membuat aku bahagia, kan?”, sekali lagi aku berusaha meyakinkan
kamu.
“Jangan paksa aku… Kamu harus
membuktikan diri dulu, itupun aku tidak bisa janji apa-apa. Bila kamu
tidak mau, tidak apa-apa. Lebih baik kamu pergi dan tidak usah singgah
lagi…”, kamu berkata dengan pelan sambil menatap mataku tajam.
Tahukah kamu… rasanya miris mendengar kalimat itu.
Apakah segala kisah dan tawa yang kita
nikmati bersama setiap malam tidak berarti apapun buat kamu? Aku tidak
habis pikir, mengapa kamu lebih memilih berdiam dalam sepi daripada
membukakan pintu untukku? Kamu juga senang bila aku di sini menemani
kamu, kan? Iya, kan?
“Baiklah, aku akan membuktikan
diriku…”, akhirnya aku berkata. Bukan karena aku menyerah, tapi justru
karena aku tidak ingin kehilangan dirimu, meskipun aku tahu aku tidak
pernah memilikimu. Aneh, bagaimana mungkin kehilangan sesuatu yang tidak
pernah dimiliki?
“Terserah kamu…”, itu kata-katamu yang
terakhir sebelum kamu menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. Aku
mengetuk dan memanggil namamu, tapi kamu tidak menjawab.
Dengan menyesal aku pulang dan
memikirkan kamu hingga pagi menjelang dan matahari mengintip di balik
cakrawala, perlahan buyarkan hitamnya malam dan menggantinya dengan
fajar yang ungu kebiruan.
Tahukah kamu… sejak itu, setiap hari
aku singgah dan mengetuk pintu rumahmu. Tapi kamu tidak pernah menjawab.
Aku mengetuk dan mengetuk… menunggu kamu di depan pintu, tapi suaramu
pun tidak aku dengar lagi.
Bagaimana kamu bisa mengenalku dan
meyakinkan dirimu sendiri, bila kamu saja tidak mau bertukar cerita lagi
denganku? Apa yang harus kubuktikan bila kamu saja tidak mau melihatku
lagi, meski hanya lewat celah pintu yang sedikit terbuka, terkait oleh
grendel kunci rantai.
Bila aku berhenti mengetuk, aku tahu
itu akan membuktikan bahwa aku tidak sungguh-sungguh ingin menemanimu.
Tapi bila aku terus mengetuk, aku tahu kamu pasti akan membenciku.
Tolong kamu beritahu, apa yang harus aku lakukan sekarang?
Mungkin aku terlalu memaksa. Mungkin
aku tidak sabaran. Mungkin dengan begitu aku jadi mengingatkan kamu akan
masa lalumu. Mungkin memang kebahagiaan yang aku pikir kamu rasakan
ketika bersamaku adalah ilusi dan khayalanku belaka. Mungkin kamu memang
lebih bahagia sendiri dalam sepi. Mungkin memang ini yang sebenarnya kamu inginkan…
Mungkin aku tidak akan pernah tahu kenapa…
Mungkin…
Tahukah kamu… setiap hari aku berjalan
lewati rumahmu. Begitu seringnya, aku sampai ingat persis warna coklat
kusam pintu rumahmu dan dindingnya yang keabuan.
Tahukah kamu… kalau kamu sudah siap,
kamu bisa membuka pintu dan memanggilku untuk singgah lagi. Mungkin
nanti kamu mau membukakan pintu untukku. Mungkin…
Mau tidak mau, toh setiap hari aku memang harus lewat jalanan rusak di depan rumahmu itu.
******
Setiap orang pernah mengalami kisah di atas. Baik sebagai orang yang
mengetuk maupun sebagai orang yang menutup pintu. Dengan membaca kisah
ini, saya harap kita bisa saling mengerti bahwa kebahagiaan dalam
hubungan cinta tidak bisa dipaksakan. Meskipun kebahagiaan itu sudah ada
di depan mata, tapi hanya bisa diraih bila kedua pihak memang sama-sama
menginginkannya dan saling berusaha.
No comments:
Post a Comment